Penderitaan adalah suatu keadaan dimana kita merasa disakiti baik secara fisik maupun mental. Contoh secara fisik yaitu terkena terkena penyakit, mengalami kecelakaan, dll. Kalau secara mental yaitu mendapat cacian dari orang lain, dikecewakan, dikhianati, ditinggalkan oleh orang yang dikasihi.
Dalam arti lain penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sengsakerta yaitu dhra artinya menahan atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan dalam kehidupan manusia sering terjadi seiring berkembangnya kehidupan manusia tersebut. Semakin berkembangnya kehidupan manusia makan akan semakin kompleks juga penderitaan yang akn di hadapi manusia.
Dalam arti lain penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sengsakerta yaitu dhra artinya menahan atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan dalam kehidupan manusia sering terjadi seiring berkembangnya kehidupan manusia tersebut. Semakin berkembangnya kehidupan manusia makan akan semakin kompleks juga penderitaan yang akn di hadapi manusia.
Artikel
Dampak psikologis Tsunami di jepang dan Gangguan stress pasca trauma
(Posttraumatic stress disorder)
sumber:http://okkyyudistira.wordpress.com/2011/03/23/dampak-psikologis-tsunami-di-jepang-dan-gangguan-stress-pasca-trauma-posttraumatic-stress-disorder/
23 Maret 2012
Selasa malam kemarin, kembali Jepang digoyang gempa yang cukup kuat. Berkekuatan 6,4 SR dengan kedalaman 10 km di wilayah Shizuoka. Cukup menggetarkan bagi kami yang tinggal di Fujisawa karena prefektur Shizuoka terletak bersebelahan dengan prefektur kami, Kanagawa. Ini mengingatkan kami kepada trauma terhadap gempa 9,0 SR pada hari Jumat, 11 Maret 2011. Yang paling merasakan dampaknya adalah anak kami yang masih balita. Dia menampakkan gejala stres. Namun, karena belum mampu mengutarakannya, dia hanya bisa diam. Ya, anak saya hanya diam ketika gempa datang atau ketika bunyi isyarat gempa terdengar dari televisi nasional, bahkan ketika mendengar kata “goyang” atau “gempa”. Reaksi diam dan wajah pucatnya akan tertinggal pada dirinya sampai satu atau dua jam pascagempa.
Semula kami sebagai orang tua bisa mengatasinya. Namun, dengan begitu seringnya terjadi gempa, begitu masifnya terjangan tsunami dan sekarang meningkatnya krisis nuklir di Fukushima, sebagai manusia biasa pun kami mengalami stres. Rasa stres dan khawatir itu tentu saja tidak hanya menghinggapi orang asing, tetapi orang Jepang juga. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya diguncang gempa besar 9,0 magnitudo, disusul tsunami yang meluluhlantakkan, dibuat was-was oleh krisis nuklir yang menyita perhatian dunia, dan disuguhi oleh berita di televisi seputar bencana secara terus-menerus. Bagi orang asing, ditambah lagi dengan berita-berita yang lebih heboh di tanah air; yang membuat keluarga besar di tanah air menjadi khawatir. Lama-lama, secara psikologis, itu akan berpengaruh besar kepada siapa saja.
Ketika mencoba membuka-buka Buku Panduan Pencegahan Bencana (Disaster Prevention Guidebook) dari pemerintah kota setempat, tidak ada tips mengenai penanganan mental dan psikologi dalam situasi bencana. Semuanya hanya mengenai teknik persiapan menghadapi gempa, cara mengungsi, dan informasi seputar tempat pengungsian. Di televisi pun yang dibahas, selain dampak dan jumlah korban bencana, hanyalah hal seputar teknis-geologis yang untuk masyarakat awam (dalam keadaan darurat) sebenarnya tidak begitu penting lagi.
Yang kelihatannya terlewatkan dalam bencana gempa dan tsunami kali ini adalah penanganan aspek sosial dan psikologi dari bencana. Selain tidak adanya tips atau petunjuk pengelolaan aspek kejiwaan dalam situasi krisis bencana dalam buku panduan, menurut salah seorang rekan Jepang, agak cukup sulit pula mendapatkan bantuan tenaga psikolog untuk berkonsultasi seputar penanganan stres dalam bencana. Tenaga psikolog itu ada, tetapi biasanya di wilayah yang terkena dampak bencana paling luas dan parah.
Sekarang ini, di Jepang cukup banyak orang asing yang datang untuk belajar, bekerja, atau berwisata. Selain itu, juga banyak orang Jepang yang lahir, besar, atau pernah tinggal di luar negeri. Orang-orang seperti ini kemungkinan memiliki ambang batas toleransi yang tidak sama dengan orang Jepang yang lahir, besar, dan tinggal di Jepang dalam menghadapi bencana. Secara mental, barangkali orang Jepang biasa umumnya sudah siap dan terlatih sejak kecil menghadapi bencana alam, terutama gempa dan tsunami. Namun, hal yang sama mungkin tidak terdapat pada orang asing atau orang Jepang yang lama berada di luar negeri, terutama di negeri yang aman-aman saja dari gempa dan tsunami.
Dalam manajemen bencana, aplikasi teknologi penginderaan dan deteksi dini mungkin memang sangat perlu, tetapi penanganan aspek mental bagi anggota masyarakat yang terkena bencana juga tidak kalah pentingnya. Mudah-mudahan hal semacam ini bisa dipertimbangkan atau menjadi perhatian dalam menghadapi bencana besar di Jepang di kemudian hari.
Definisi Posttraumatic stress disorder
Gangguan stress pasca trauma atau posttraumatic stress disorder ditandai oleh pengulangan, ingatan yang mengganggu pada peristiwa traumatic yang menggoncang mereka.
- Peristiwa yang mengancam kematian atau luka serius bisa menyebabkan penderitaan yang hebat dan berlangsung lama.
- Orang yang terkena bisa mengingat peristiwa tersebut,mengalami mimpi buruk,dan menghindari apapun yang mengingatkan mereka pada peristiwa tersebut.
- Pengobatan bisa termasuk psikoterapi (mendukung dan melakukan terapi) dan pemberian obat antidepresan.
Mengalami atau melihat peristiwa yang traumatic yang mengancam kematian atau luka serius bisa mempengaruhi seseorang lama setelah pengalaman berlalu. Ketakutan hebat,ketidakberdayaan,atau pengalaman menakutkan selama peristiwa traumatic bisa menghantui seseorang.
Peristiwa yang bisa menyebabkan gangguan tekanan yang pasca-traumatik termasuk dibawah ini:
- Berhubungan dengan perang
- Mengalami atau melihat kekerasan fisik atau seks.
- Terkena bencana,baik alam (misalnya,angin topan) atau buatan manusia (missal,kecelakaan mobil hebat)
Kadangkala gejala tidak dimulai sampai berbulan-bulan atau bahkan tahunan setelah peristiwa traumati terjadi. Jika gangguan stress pasca-traumatic telah ada selama 3 bulan atau lebih,hal ini dianggap kronis.
Gangguan stress posttraumatic mempengaruhi setidaknya 8% orang kadangkala sepanjang hidup mereka,termasuk masa kanak-kanak. Banyak orang mengalami peristiwa traumatic,seperti veteran perang dan korban pemerkosaan atau kegiatan kekerasan lainnya, mengalami gangguan stress posttraumatic.
Menurut pendapat saya mungkin pihak penanggulangan musibah di jepang tidak salah jika tidak mencantumkan pentunjuk untuk mengatasi trauma pasca bencana, karena orang-orang yang stress atau trauma belum tentu ingin membacanya, meskipun akan ada orang lain seperti pihak keluarga yang akan membaca, namun tidak semua bisa melalukan hal penyembuhan terhadap orang yang mengalami trauma tersebut. Mungkin lebih baik pasca bencana diadakan kegiatan rutin karantina kepada orang-orang yang mengalami stress atau trauma agar tidak berkepanjangan.
Ketahan seseorang terhadap bencana pada tiap daerah dan negara berbeda-beda, contohnya seperti di Jepang yang rawan gempa dan tsunami, USA yang rawan dengan badai dan tornado, ada pula masalah tentang kemacatan yang mungkin ada beberapa orang yang tidak biasa mengalaminya. Dengan adanya perbedaan tersebut, setiap orang di haruskan untuk terlebih dahulu beradaptasi tentang situasi di suatu daerah.
Kesimpulan yang dapat diambil dari masalah stress atau trauma akibat pasca bencana yaitu tidak setiap orang dapat merelakan atau melupakan apa yang sudah terjadi, apalagi secara psikologis hal buruk itu lebih sulit dilupakan daripada hal baik, namun jika kita memiliki masalah janganlah ditahan dan dipendam sendiri, karena hal tersebut dapat membuat kita stress dan menyebabkan banyak penyakit. Bantuan dan perhatian dari keluarga dan kerabat dekat jugalah perlu bagi para penderita. Ada juga orang yang lebih memilih untuk memendam penderitaannya sendiri, karena ia tidak ingin melibatkan orang lain dalam masalah yang sedang dialaminya. Jadi, cobalah memahami diri anda sendiri, anda merasa lebih nyaman untuk sendiri atau butuh pertolongan orang lain. Dengan begitu anda bisa mengatasi gangguan pikiran atau stress yang sendang dialami.
.
0 komentar:
Posting Komentar